“Akhirnya menggila lagi!” teriak ku. Seusai pulang
kuliah aku dan kelima orang teman ku bergegas pulang ke kos Listya. Kami
berenam berencana ingin liburan ke Wonosari. Meski cuaca Jogja mendung, tidak
mengurangi tekad kami untuk melakukan perjalanan
kesana. “Bismillah” tepat pukul 16.30 WIB kami berangkat.
“Ras, nanti dijalan jangan kresek-kresek ya? Hehehe…” candaku
karena dari kaca spion aku melihatnya sedikit tegang.
“Hahaha… nyantai aja not. Gak
kebayang aja not kalau misalkan rumahku di Wonosari, dijamin pasti aku bakalan
jarang pulang dan yang pasti gak sanggup perjalanannya” kata Laras.
“Emangnya knapa Ras?” tanyaku mencairkan
ketegangan Laras.
“Hah, masih bisa nanya kenepa?
Jalanya aja naik turun tikungan tajam
gini, Untung aja aku itu bukan orang asli sana” ucapnya sambil setengah
berpegangan kencang seperti orang yang sangat ketakutan karena melihat ku
bakalan menyalip truk yang super gede.
Ketegangan laras mencair saat ia
melihat pemandangan Patuk, sebut saja tempat itu Bukit Bintang.
“Subhanallah,
indah sekali ciptaan-Nya. Boleh
nih besok pulang dari Wonosari kita mampir kesini.”
candanya terpana melihat keindahan pemandangan alam bukit Patuk.
Ketakjuban Laras pun tak ku tanggapi karena
aku konsentrasi kejalan. Tin… Tin… Tin… Terdengar
klakson motor dari belakang, Mimi memyalip, disusul Haya, aksi saling salip pun
terjadi dan percakapan antara aku dan Laras pun terhenti sampai
setibanya dirumah listya.
“Assaamualaikum” ucap kami bersamaan
ketika sampai dirumah Listya.
Tak
lama kemudian terdengar sahutan dari dalam rumah dan datanglah Ibu Siti alias
Ibunya Listya menyambut kedatangan kami.
“Waalaikumsalam” sahutnya singkat
sambil mempersilahkan kami masuk dan istirahat terlebih dulu. Di sela-sela istirahat
Haya dan Murti berbisik sambil cekikikan.
“Haya aku laper ?” bisik murti.
“Hmm…
Kira-kira menu makan malamnya apa ya?” lanjut murti sambil terkekeh.
Tak
lama kemudian Ibunya Listya keluar menyuguhkan kami minuman.
“ Ayo nduk diminum dulu. Mumpung isih
panas karo ben teges ora mumet bar pejalanan adoh” ucapnya menyilahkan kami
minum.
Tak
lama kemudian ayah Listya pulang dari kerja.
“Assalamualaikum, wah ada tamu rupanya?”
sapanya sambil tersenyum.
“Wa’alaikumsalam” jawab kami dari
ruang tamu sambil tersenyum.
“Jam
berapa tadi mbak nyampe sini?” tanya
ayah Listya.
“Kira- kira jam 18.30 tadi pak.”
sahut murti,
Diruangan
lain Listya dan ibunya tengah sibuk mempersiapkan makan malam, sedangkan Tito adiknya Listya sibuk dengan ikan-ikan yang
yang siap untuk di bakar. Tiba-tiba Mimi datang mendekati Tito.
“ Aku nanti mau ikut bakar ikannya
dong dek?” ucap mimi sambil ngeliatin Tito mempersiapkan panggangan.
Tito
tak merespon kata-kata Mimi dan hanya tersenyum karena malu.
“Phinot tolong fotoin aku dong! Aku
mau ikut Tito bakar ikan nih, hehehe…”
kata Mimi melihat kearah ku diruang tamu yang lagi asyik main HP.
“Mmmaaauuu…” teriak yang lain
bersamaan. Mereka pun bergegas ganti baju dan siap berkumpul
dengan asap bakaran ikan.
Selagi yang lain
bakar ikan, Listya mempersiapkan lauk lainya dan menyiapkan tempat untuk kami makan
nanti.
“1… 2... 3… ccciiizzz” aku mulai sibuk
memainkan kameraku dan terkadang aku iseng
mengambil foto mereka yang lagi gak sadar kamera.
Udara
malam di wonosari sedikit panas karena cuacanya terlihat mendung dan terlihat
gelap. Tak tampak pula cahaya bulan dan bintang menghiasi langit Wonosari. Tak
lama kemudian ikan-ikan yang dibakar sudah jadi semua. Kami pun mulai menyantap
hasil bakaran kami sendiri. Malam ini kami
makan di temani rintik-rintik hujan yang mulai turun membuai malam.
“Ayoo mbak nambah lagi. Itu nasinya masih banyak.” kata
Ibu Siti sambil menghampiri kami makan.
“Hemmm…
iya bu. Ini aja nasinya masih banyak,”
sahut Mimi sambil menahan rasa pedas sambel buatan Bu Siti. Keringat mulai
bercucuran di dahinya.
“Hahaha…” kami pun terbahak melihat
tingkah Mimi kepedasan.
“ huhuhu… Sambele pedes tenan cah.”
kata Mimi setelah sadar kalau kami menertawakannya.
Selesai makan kami pun membersihkan
diri dan mengambil air wudhu bersiap sholat isya’ karena ternyata tanpa kami
sadari waktu telah menunjukan pukul 20.00 WIB. Seusai sholat kami tidur dikamar
yang telah disiapkan oleh Bu Siti untuk kami. Kami tertidur lebih cepat karena
merasakan lelah yang tak tertahankan lagi dan mempersiapkan energi untuk berpetualang besok
pagi.
*****
Pukul 05.00 WIB kami bangun dan
melaksanakan sholat subuh.
“Bbbrrr…
dingin banget ya air disini” ucap Laras sambil mengepalkan kedua tangannya kedada.
Kami
hanya mengangguk pelan tanda sependapat dengan Laras.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Kami pun bergegas bergantian
mandi sambil menunggu sahabat kami dari
prambanan yang menyusul kami kesini.
HP Murti bordering dan segera di
bukanya dan ternyata itu SMS dr Ima.
“Kita
udah nyampe alun-alun Wonosari. Terus kemna lagi nih arahnya?”
Aksi balas-balasan SMS pun ter jadi dan
akhirnya kita janjian disuatu tempat. Setelah ketemu akhirnya kami pun mulai
berpetualang. Hari ini kami berniat
pergi ke Pantai Wedi Ombo dan Pantai Drini. Jalan
yang kami lalui pun tak kalah ekstrimnya
saat kami berangkat ke Wonosari. Naik turun tikungan tajam yang lebih
menantang adrenalin.
“Welcome to Wedi Ombo” teriak kami
bersamaan. Tak lama kemudian kami telah menyatu dengan pantai, bermain ombak,
pasir, dan yang tidak ketinggalan adalah narsis
bersama untuk mengabadikan kebersamaan ini.
“Auchhh…”
Teriak Haya sambil memegang kakinya yang tengah berdarah karena tersandung
karang.
“Hmm… Nanti sampe rumah ku dikasih
obat ya biar cepat kering lukanya” Kata murti.
“Gak dikasih obat sebenernya gak
papa. Cuma kerasa perih aja kalo kena air” ucap Haya.
“Woy teman-teman gak disangka ya
ternyata untuk yang kedua kalinya kita datang ke Pantai Gunung Kidul dan
menjadi penguasanya. Hehehe…” teriak Ima dari kejauhan yang asyik sendiri main
pasir.
Di lain tempat namun masih dalam
pantai yang sama Zia dan Ayu lagi asyik
cari batu pantai dan kerang. Waktu mnunjukan pukul 11.00 WIB kami pun berlanjut
telusur ke Pantai Drini. Sampai disana tepat saatnya untuk melaksanakan sholat
zhuhur dan saat mengambil air wudhu...
“airnya asin” komentar Ima dan murti secara
bersamaan.
Yang lain masih terduduk dan melihat suasana
pantai sambil menunggu giliran mengambil air wudhu. Panasnya terik sekali hari
itu. Setelah semua selesai sholat, Laras, Murti, Mimi, Haya, Zia, Listya dan
Ayu Turun kepantai untuk melihat keindahan pantai Drini. Aku
dan Ima gak ikut turun ke pantai. Kami lebih memilih beristirahat karena terasa
lelah sekali. Setelah aku dan Ima cukup berisitirahat sedangkan yang lain masih
asyik dipantai, kami pun pergi kewarung makan yang ada ditepi pantai karena
dari tadi aku dan Ima terasa lapar dan haus sekali ingin minum es kelapa muda. Gak
lama kemudian sesampai aku dirumah makan, aku berteriak memanggil teman-teman
untuk ikut makan bersama kami.
“Udah yuk pulang takut kemaleman nanti nyampe
rumahku” kata murti mengajak kami untuk cepat pulang.
*****
Perjalanan pulang tersa cepat bagi
kami tanpa terasa kami telah sampai kembali di Kota Wonosari dan sampailah kami
di rumah Murti. Setiba dirumah Murti kami langsung mengambil air wudhu untuk
sholat ashar. Seusai sholat Zia dan Ayu pulang ke Prambanan. Mereka tidak ikut
kami bermalam dirumah Murti. Ima dan Listya mengantar mereka sampai alun-alun
Wonosari karena mereka tidak tahu arah pulang. Sambil menunggu Ima dan Listya
balik mengantar Zia dan Ayu pulang, Murti mengajak kami keladang miliknya
memetik buah mangga untuk rujakan kami nanti malam.
“Jauh gak dari sini
ladangnya?” tanya Laras.
“Gak kok, kira-kira
500 meter.” sahut
Murti.
Kami berangkat
keladang naik motor. Sekitar lima menit perjaanan kami sampai diladang. Ternyata
ladang mangga yang aku bayangkan masih jauh. Kita masih harus berjalan meniti
tanah yang becek karena guyuran hujan malam tadi dan tiba-tiba...
“Yah… Kaki ku kejeblos
ditanah nih.” teriak
ku dan setelah bisa diangkat sandalku putus di bagian depannya.
Setelah
kejadian itu barulah kami sampai di ladang mangga Murti. Ternyata temptnya ada
ditengah-tengah perdu dan ilalang.
Setelah itu kami pulang dan ternyata Ima dan Listya belum juga sampai di rumah.
“Kae
nduk tak opeke degan, gek di ombe bareng-bareng. Yo mung koyo ngene iki anane neng kene,
kahanane wong urip neng deso, opo-opo golek neng ladang” kata ayah murti selagi kami pulang dari
ladang.
Setengah
jam kemudian Listya dan Ima datang. Listya langsung bergegas mandi dan yang
lain siap-siap untuk sholat magrib. Seusai sholat magrib kami pun menyaantap
makan
malam yang sudah disiapkan oleh Ibu dan kakaknya
Murti. Selesai makan dilanjut dengan rujakan yang udah disiapkan dari sore
tadi. Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, kami pun beristirahat untuk menyiapkan
energi untuk besok pulang menjalani aktivitas kami yaitu kuliah. Sekitar jam 08.30 WIB kami berangkat pulang ke Jogja
karena jam 14.00 WIB nanti kami ada kuliah. Setiba dikosan
Laras kami semua melanjutkan tidur sampai
Zuhur lalu siap-siap untuk kuliah sampe magrib nanti. Sore harinya setelah pulang kuliah aku melihat Senja tengah menyendiri
disudut hall kampus. Entah apa yang
sedang di lakukannya. Dia tampak murumg dan sedih, karena penasaran Aku pun mendekatinya.
“Assalamualaikum
Nja, apa yang kamu lakukan disitu?” sapa ku sambil mendekat dan mengajaknya
bersalaman.
“Wa’alaikumsalam
Not, oh gak ngapa-ngapain kok Not”
jawab Senja.
Kali
ini aku merasakan ada yang gak biasa
dengan sikapnya. Tidak biasanya Ia menyendiri dan kelihatan murung. Biasanya
Senja ceria dan sering membuat teman-temannya tertawa karena tingkah
kekonyolannya.
“Kalau
kamu ada masalah cerita Nja, jangan kamu pendam sendiri. Siapa tahu aku bisa
kasih solusi.” kata ku dengan nada yang sedikit
lembut untuk menenangkan. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meyakinkannya
sebagai naluri seorang sahabat.
“Aku
bingung Not, entah apa yang harus aku lakukan” jawab Senja.
“Lho?
Ada apa toh Nja kok kamu kelihatan
bingung seperti itu?” tanya ku.
“Begini
Nggi ehmm...” jawabnya singkat sambil menggigit bibir bawahnya
karena lidahnya terasa kelu.
“Aku
mau cerita, tapi mungkin gak disini. Terlalu ramai. Kalau dikos ku saja
gimana?” Sambil melihatku dengan tatapan meredup seperti orang kebingungan.
Aku
paham apa yang dirasakan Senja kala itu . Disepanjang jalan pun dia hanya terdiam,
tak ada satu kata pun terucap dari bibirnya. Setiba dikamar kosnya, Senja pun
memulai ceritanya.
“gini Not, aku sedih banget. Kak Bunga
marah sama aku karena sikap ku yang kadang seperti anak kecil. Kadang aku
sering sekali ngambek sama kak Bunga karena keegoisan ku yang kadang berfikir
Kak Bunga jarang ada waktu untuk ku.” Jawab Senja.
Setelah
mendengar permasalahannya, aku dan Senja pun terdiam. Hanya terdengar sesekali
isakan tangis Senja yang coba Ia tahan dalam hatinya. Aku pun mencoba menenangkan
Senja sembari mencari solusi yang tepat untuknya.
“
Senja... jangan jadikan ini semua sebagai batu besar yang menghalangi
sayap-sayap indahmu tumbuh dan terbang sesuai dengan apa yang kamu citakan. Aku
tahu kamu sangat menyayangi Kak Bunga seperti kamu menyayangi kakak mu sendiri,
tapi sayangi beliau dengan sederhana saja dan yakinkan diri kita bahwa mereka
yang kita sayangi juga memiliki sayap-sayap indah yang harus kita hargai hendak
kemana sayap itu pergi. Jika beliau jarang ada waktu untuk kita, bukan berarti Kak Bunga gak peduli, tapi kita harus mengerti akan beliau. Terbang untuk
kembali pada kita walaupun kadang kita merasa tidak selalu bersamanya dan
mendapat perhatiannya, yakinlah kupu-kupu senior itu sangat menyayangi kita.
Dalam do’anya, dalam sikapnya, beliau inginkan yang terbaik untuk kita. Jadi
lakukanlah yang terbaik untuk kupu-kupu indah yang tengah membuat hari-hari mu
indah. Ingatlah semua yang telah kupu-kupu indah berikan untuk mu. Coba kamu
ingat perhatiannya, walau jauh, beliau masih saja peduli. Itu tandanya
dimanapun kupu-kupu terbang, kamu adalah yang spesial ditematkan dalam setiap
doa-doanya. Meskipun kadang kamu sering ngambek dan dia terkesan marah, tapi
itu semua bukan karena kupu-kupu indah marah sama kamu, tapi beliau marah
dengan sifat dan setan yang bercokol dihatimu. Sekarang biarkan kupu-kupu indah
itu memberikan yang terbaik untuk kita. Jadikan diri kita pecinta sesuatu
dengan sederhana saja, karena cinta yang sempurna hanya milik Allah. Jadi tidak
ada yang perlu dipermasalahkan terlalu jauh. Tunjukkan sikap dewasanya ya!”
kata ku sambil mencoba memberikannya pengertian.
Air
mata Senja tak tertahan lagi Ia bendung saat mendengar semua nasehat ku. Dia
semakin tertunduk dan terbuai oleh pikirannya. Perasaan bersalah itu pun
semakin menyeruak dihatinya.
“Phinot...
sekarang aku tersadar. Aku egois! Aku tidak bisa mengertinya! Yang bisa ku
lakukan hanya menuntut, menuntut, dan terus menuntut Kak Bunga. Aku menyayangi
Kak Bunga. Beliau sudah ku anggap seperti kakak ku sendiri. Tidak seharusnya
aku bersikap seperti itu. Seharusnya aku mencoba lebih untuk mengerti.” ucap
Senja sambil menangis.
“Saling
memahami itu memang tak mudah. Baik kamu, aku, ataupun Kak Bunga harus lebih
banyak belajar lagi, karena terkadang menuntut itu memang mudah daripada
sekedar memahami Nja. Untuk itu mulai sekarang kita harus lebih belajar untuk
saling mengerti dan memahami.” Ucap ku.
“Syukron ya Not untuk semua
nasehat-nasehatnya. Aku akan mencoba merenungkan kembali apa yang kamu bilang.
Aku harus bisa lebih memahami dan lebih mengerti orang lain.” Kata Senja sambil
tersenyum memelukku.
“iya
Nja. Sama-sama. Kalau ada masalah lagi jangan sungkan-sungkan untuk cerita.
Kita cari solusi jalan keluarnya bareng-bareng. Hehehe...” Ucap ku sambil
tersenyum.
Setelah
itu Senja bergegas mengambil handphonenya
untuk SMS Kak Bunga. Dia mengirimkan
ucapan maaf.” kak maafin aq ya, aq gag
bisa ngertiin kakak, aq kaya’ anak kecil, aq terlalu egois, sx lagi aq minta
maaf ya kak, aq sayanx kakak.” Senja pun harap-harap cemas dan merasa
gelisah setelah membaca ulang SMS yang sudah Ia kirim. Setelah melihat laporan
terkirim, Senja pun harap-harap cemas menunggu balasan SMS dari Kak Bunga. Aku
asyik membaca buku dan Senja terus
menatap layar handphone menunggu
balasan. Setelah beberapa menit HP Senja berdering, Aku agak terheran melihat
Senja terkekeh sendiri sambil menatap
layar HPnya.
“Ini
orang kenapa? Kok tiba-tiba senyum sendiri gini, gak jelas banget.” Gumam ku.
“Kak
Bunga membalas SMS ku Not. Alhamdulillah Kak Bunga memaafkan ku. Dia bilang “ iya
sama2, maafin kakak juga jarang ada waktu untuk kamu, kapan-kapan mabit dikost
kakak ya, qt bercanda dan cerita bareng-bareng lagi, kakak juga sayanx sama
senja, jaga kesehatan ya...”
“Alhamdulillah,
jangan ngambek-ngambek lagi ya? Kasian Kak Bunga. Hehehe...” Kata ku sambil
meledek Senja.
Senja pun tersenyum kembali mendengar kelakarku.
Disudut
ruang bahasa kalbu...
Jogjakarta, Oktober 2011
Ervina
Sugesti
indahnya persahabatan kita..... seperti ank kecil yak gaya kita
eksis saat baru nyampe pantai wedi ombo
laff u all cz Allah...